"Jaraknya deket banget, kesundulan, ya?"

"Hati-hati, kakaknya belum ngerti, nanti malah galak sama adiknya."

"Bisa ngurusnya, nggak, jaraknya deket begitu?" 

Yap. Ketika masa kehamilan kedua saya, banyak komentar bernada negatif yang berseliweran di sekitar saya. Nggak salah, sih. Mungkin, kalau saya jadi orang lain pun, saya akan berpendapat demikian.

Pasalnya, kedua anak saya ini memiliki jarak usia yang cukup dekat, hanya 20 bulan. Sama persis dengan jarak usia saya dan kakak saya. Dan, yang jadi tantangannya, saya mengurus keduanya sendiri, tanpa bantuan orang tua, mertua, ART, apalagi baby sitter. 

Susah? Tentu aja! Apalagi, mengingat sang kakak sedang aktif-aktifnya bergerak ke sana-sini.

Memang, waktu tersita jauh lebih banyak dari biasanya. Saya baru bisa merapikan rumah saat keduanya tidur. Dan, waktu tidur saya pun jelas berkurang drastis. Dari yang semula bisa tidur selama (setidaknya) 6 jam sehari, sekarang hanya berjumlah 3 jam. Alhasil, mata panda, kerut-kerut halus, dan wajah kusam sudah jadi "make up" saya sehari-sehari-hari.

Namun, di kamus saya, nggak ada yang nggak mungkin untuk dijalani, terutama kalau kita menikmatinya dengan "hati". 

Memang, banyak ahli yang tidak menyarankan untuk memiliki anak berjarak usia dekat. Namun, kalau memang sudah dititipkan oleh Yang Maha Kuasa, kita harus sangat bersyukur, bukan? 



Nah, berdasarkan pengalaman saya ini, saya akan berbagi sedikit tips yang bisa Moms lakukan untuk menghadapi jarak usia anak yang cukup dekat, Moms. 

1. Mulailah kenalkan konsep kakak-adik sejak sang adik masih dalam kandungan. 


​​​​​​Usia sang kakak memang masih kecil saat saya mulai memperkenalkan konsep "kakak-adik". Baru setahun lebih. Namun, bukan berarti dia nggak mengerti, lho!

Coba kenalkan dengan mengambil contoh cerita dongeng yang mengangkat kisah kakak dan adik, dan rasa sayang yang terkait antar satu sama lain. Pun, saya melakukannya pada sang kakak. Selama sang adik dalam kandungan, saya mengajaknya menonton film "Song of The Sea", salah satu film kartun yang memuat kisah kakak adik yang menyenangkan.
​​​​​​
2. Tandem nursing/breastfeeding? Bisa aja, kok!



Satu hal yang paling membuat dilema adalah banyak orang yang menyarankan untuk menyapih sang kakak, karena mitos ini-itu. Ada yang bilang, ASI-nya jadi "basi", menyebabkan sang anak yang menyusui jadi mudah terkena penyakit.

Namun, ternyata, setelah berkonsultasi dengan dokter kandungan, proses menyusui memang bisa merangsang kontraksi, namun tak sampai menginjak proses melahirkan. Moms bisa cek info lengkapnya di sini >> Breastfeeding while Pregnant. 

Setelah dilema karena menyusui di kala hamil, saya kembali dihadapkan pada kesulitan "menyapih" sang kakak, karena ia melihat adiknya disusui. Dan, tentu saja, ASI-nya pun sedang "deras-derasnya", bukan?

Alhasil, sang kakak--yang tadinya sudah sedikit-sedikit melepas ASI--jadi "kabita" lagi. Jadi nggak bisa lepas lagi dari ASI. Kembali, saya harus menghadapi komentar miring yang kadang nggak masuk akal karena hal ini. 

Wajar sih. Pasalnya, "tandem nursing" atau menyusui dua anak di rentang waktu berdekatan memang masih jarang dilakukan. Mitos berkembang pesat tentang hal ini, mulai dari sang anak gampang sakit, atau kakak beradik ini akan saling mengalahkan, tanpa memiliki alasan yang masuk akal. 

Tapi, saat berkonsultasi dengan dokter, ternyata hal ini tetap bisa dilakukan, yang terpenting, sang ibu mendapatkan nutrisi yang cukup. 

Dan, sejauh ini, ternyata "tandem nursing" lah yang jadi penyelamat saya mencegah "sibling rivalry" atau persaingan antar saudara. Alhamdulillah, sang kakak pun sangat sayang dengan adiknya (malah cenderung posesif). 

3. Tetap adil pada keduanya.


Salah satu hal yang mengundang rasa cemburu sang kakak pada sang adik adalah perlakuan sayang ibu yang seolah berpindah semua pada sosok seorang adik. Padahal, sebenarnya, perilaku inilah yang konon katanya bisa mempengaruhi rasa cemburu sang kakak. 

Satu hal yang saya lakukan adalah tetap berusaha adil dalam hal apapun, bahkan dalam hal seperti bercanda sekalipun. Karena, di umur-umur seperti anak pertama saya ini, yakni di umur 2 tahun, justru ia sedang butuh-butuhnya perhatian dari ayah dan ibu. 

4. Mengikutsertakan sang kakak dalam mengurus adik.

Kebetulan, saya bukanlah tipikal ibu yang suka menjauhkan sang kakak saat saya sedang mengurus adiknya. Seperti saat memakaikan baju, memberi makan, ataupun membasuh ketika buang air besar, saya senang meminta bantuan pada sang kakak untuk hal-hal kecil, seperti mengambilkan tisu, menyuapi sang adik minum (sambil tetap diperhatikan ya!), ataupun membuang sampah bekas popok sang adik.

Dan, entah kenapa, kebiasaan itu membuat sang kakak peduli dan perhatian pada adiknya. 
​​​​
5. Manfaatkan waktu sekecil mungkin untuk "me-time"

Memang, dengan mengurus dua anak dengan usia yang tak terpaut jauh seperti ini, saya seakan tak punya waktu untuk menjadi diri sendiri. Saya sudah lama nggak ketemu teman-teman, ataupun membuat barang-barang DIY seru, ataupun membaca buku sampai tuntas. Rasanya, ketika ada waktu luang, saya harus merapikan rumah, atau beristirahat. 

Tapi, biar nggak stress, nggak ada salahnya memanfaatkan waktu tidur anak-anak untuk sekadar nonton film, ngemil snack favorit, atau menelepon teman-teman, kan?

​​​6. Nggak usah gengsi untuk minta bantuan, ya!

Seorang ibu pun adalah manusia biasa, yang memiliki keterbatasan dalam beberapa hal, tentu saja. Jadi, kalau diperlukan, nggak ada salahnya lho minta bantuan suami, orang tua/mertua, ataupun kerabat dekat lainnya, jika dibutuhkan. Ingat, manusia super pun nggak bisa hidup sendiri, kan?

***
​​​​ 


Yang penting, sih, tetap menikmati prosesnya. Karena, jujur saja, justru kedua anak kesayangan saya inilah yang jadi sumber kekuatan saya untuk tetap menjalani titel sebagai seorang "ibu". Memang, banyak lelahnya, tapi lebih banyak serunya, kok!

Adakah Moms yang juga punya pengalaman serupa?