Menjadi ibu dan mengasuh anak memang tidak ada sekolahnya. Tapi di masa sekarang, banyak sekali psikolog yang menulis buku parenting dan orang tua yang menulis buku tentang kisah pengasuhan anaknya. Bahkan moms tentu sudah sering menemui di media social adanya jadwal seminar, webinar baik gratis maupun berbayar dengan tujuan agar generasi baru mendapat pola asuh sesuai zaman dan supaya moms dan suami menjadi orang tua yang baik dalam membimbing buah hatinya.
Kata “Baik” saja mungkin terlalu universal dan relative. Tapi dari saya dapat di beberapa buku dan kajian, “baik” artinya kita memenuhi hak anak sebagaimana kita memenuhi hak kita pada diri sendiri. Misalnya makan, diperlakukan dengan penuh kasih sayang, hak anak untuk bermain dan mendapatkan rasa aman serta nyaman di tengah keluarganya.
Ada buku best seller yang saya baca dan sangat menginspirasi saya dalam hal parenting. Banyak nilai positif yang bisa moms terapkan dari buku ini, walaupun belum tentu semua hal dalam buku ini cocok untuk keadaan moms. Bukunya apa sih?
Tadaaaa.. ini dia buku best sellernya moms! Judulnya 5 guru kecilku yang ditulis oleh seorang ibu yang tidak memiliki latar belakang psikologi bernama Kiki Barkiah (31). Bukunya ada 2 jilid, buku bagian pertama cetakan pertama langsung ludes terjual. Saya sendiri boleh pinjam 2 buku ini sama teman.. hihihi. Bukunya sudah lama saya baca, sekitar 1 tahun lalu. Tapi baru sempat review sekarang. Penulis sudah dikenal di kalangan ibu karena celotehan positifnya nya di facebook. Adakah yang sudah baca pengalaman Kiki Barkiah dalam mengasuh 5 anaknya, moms?
Judul : 5 Guru Kecilku
Penulis : Kiki Barkiah
Penerbit : Mastakka Publishing
Cetakan kedua : Oktober 2015
Buku bagian satu source : bukalapak
Buku bagian ke-2 oleh Kiki Barkiah
Buku ini menceritakan bagaimana seorang ibu mengasuh 5 orang anak dengan usia yang berbeda. Usia anak yang berbeda dengan karakter berbeda, tentu treatmen nya berbeda sesuai karakter si anak. Penulis menceritakan kalau dirinya menjalankan tugas sebagai ibu tanpa pengasuh dari luar. Yang membuat saya berdecak kagum, penulis menjalani kehidupannya di San Jose, California, Amerika ikut suami bekerja. Negeri Paman Sam, Negara adidaya dengan segala konsep freedom yang dimiliki. Terbayang oleh saya, bagaimana di sana penulis struggling mengasuh 5 anaknya di negara itu sesuai dengan tuntunan kepercayaan yang dia anut. Tentu penulis terus mempertebal pertahanan diri dan anaknya di sana. Kiki Barkiah sebagai penulis tidak menyampaikan sesuatu yang muluk dan betapa mulusnya menjadi ibu, tapi justru menceritakan realita dan dia juga menuliskan kekurangan serta kehilafan dalam perannya sebagai ibu untuk dipetik hikmahnya oleh pembaca.
Kenapa saya senang baca buku ini? Karena sangat dekat dengan kehidupan sebagai ibu yang merasa betapa warna warninya dan banyak kejutan dalam mengasuh kids jaman now. Buku ini menceritakan bagaimana penulis mendidik anak pertamanya yang masuk usia remaja usia puberitas, menghadapi anak balita yang tantrum dengan kondisi dirinya mengasuh anaknya yang masih bayi. Penulis bercerita saat membimbing gadis kecilnya yang sedang beradaptasi di sekolah baru yang siswanya beragam dengan latar suku dan agama berbeda sambil juga menyiapkan materi belajar anak-anaknya di rumah. Kiki Barkiah sebagai penulis menerapkan homeschooling yang terjadwal rapi ketika anaknya belum masuk sekolah umum.
Banyak tulisan di buku ini yang membuat saya berkaca, salah satunya saya kutip dari bab yang berjudul “Andai Saja Aku Mau Mendengan Satu Kalimat Lagi” dari 5 Guru Kecilku Bagian 2, Oleh Kiki Barkiah, Halaman 15.
“Suatu hari saat sedang sangat, sangat, sangat sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, tiba-tiba Ali (11 y) mengaduAli: “ummiiiiiiii…… Shiddiq (5y) mukul adik Fatiiiiiih! (8m)
Saya pun terpaksa menghentikan pekerjaan lalu mengambil bayi yang sedang menangis. Saya menahan amarah walau sejujurnya saya benar-benar kesal karena perilaku memukul adik bayi adalah perilaku yang sangat keterlaluan. Dengan nada yang tenang tapi kokoh saya bertanya,
Ummi: “Shiddiq kenapa shiddiq mukul adek bayi?”
Shiddiq: “itu karena adeknya makan buku”
Ummi: “ummi tau Shiddiq kesal, tapi Shiddiq kan bisa bilang sama adek, lalu Shiddiq ambil bukunya, jauhkan dari adek, adek masih kecil, dipukul itu sakit, apalagi adek masih bayi, sangat berbahaya”
Shiddiq: “ggggggrrrrr Shiddiq udah bilang sama adeeeek!! Shiddiq udah ambil bukunya!! Tapi adeknya makan bukunya!!”
Penjelasan shiddiq dengan nada marah cukup membuat darah saya menaik. Ditambah dengan hiruk pikuk pekerjaan membuat saya tidak bisa berlama-lama memberikan pengertian padanya. Biasanya saya hanya baru memberikan “warning 1” untuk setiap kesalahan yang diulang setelah diberi peringatan, baru kemudian memberikan hukuman berupa pengurangan hak kesenangan seperti durasi menonton televisi setelah pemberian 3x “warning”. Terkadang teknik time out saya lakukan jika diperlukan. Namun hal ini bukanlah sebagai hukuman, tapi sebagai kesempatan bagi anak-anak untuk menenangkan diri.
Saya memang lebih banyak memilih teknik apresiasi, pengabaian, pemberian reward dalam membangun kepribadian anak dibanding memberikan hukuman pada mereka. Karena pemberian hukuman bagi saya lebih banyak mengajarkan apa yang tidak boleh, namun tidak sampai mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan anak-anak. Jika mereka melakukan perilaku negatif, saya lebih memilih memberikan pengertian di waktu malam menjelang tidur, baik melalui komunikasi biasa atau melalui dongeng hikmah.
Namun saat itu, beban pekerjaan rumah tangga saya menumpuk sehingga saya kurang sabar untuk menahan pemberian hukuman sampai warning 3. Tiba-tiba saya kelepasan bicara “abang, hari ini gak dapat permen karet nya ya” Kebetulan saat itu ada permen karet di rumah yang saya janjikan boleh diambil setelah semua standar sore selesai. Sejujurnya saya menyesal mengapa langsung mengeluarkan kalimat itu. Shiddiq pun menangis saat saudara-saudara lain mengambil jatah permen karet mereka. Namun saya saya tetap teguh untuk tidak memberinya. Setelah reda saya ajak Shiddiq kembali berbicara. Saya sampaikan tentang bagaimana seharusnya ia bersikap saat adik bayi memakan bukunya. Tiba-tiba saya kaget tersentak saat Shiddiq memberi penjelasan,
Shiddiq: “ummi tadi itu Shiddiq pukul punggung adek karena Shiddiq takut adek choking”
Saya mengerti maksud Shiddiq. Shiddiq pernah dapat materi P3K dalam homeschooling kami, bahwa jika menemukan anak yang tersedak, kita harus memukul punggungnya sampai korban memuntahkan bendanya.
Ummi: “astagfirullah…astagfirullah kalo gitu ummi dong yang salah, ummi gak mau sabar denger penjelasan abang. Padahal abang bermaksud baik sama adek”. Saya pun memeluk Shiddiq dan mengapresiasi maksud baiknya.
Shiddiq: “tadi sebenernya shiddiq mau bilang itu tapi ummi terus aja bicara”. Saya pun meminta maaf padanya lalu meralat konsekuensi yang saya berikan.
Astagfirullah… Astagfirullah…. andai saja saya sedikit bersabar untuk mendengar satu kalimat lagi, mungkin saya akan lebih bijaksana dalam menghadapi masalah ini. Itulah mengapa di dalam Al-Quran Allah menyandingkan kata melihat dan mendengar sebagai cara untuk mengambil pelajaran. Mengapa Allah tidak hanya menyebut kata melihat saja atau mendengar saja? Karena kebenaran tidak cukup hanya diungkap dengan sekedar melihat. Penglihatan hanya mampu melahirkan persepsi yang belum tentu benar kenyataannya. Namun dengan mendengar dan melihat kita akan lebih mengerti apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana motif seseorang dalam melakukan sesuatu, dan apa yang sesungguhnya yang dimaksud seseorang dibalik perbuatannya.
terkadang kita tidak sabar untuk menunda sedikit pekerjaan kita, memberikan sejenak waktu kita untuk mendengar perasaan dan penjelasan anak anak kita sehingga kita menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi perilaku mereka. Terkadang kita mendadak menjadi seorang peramal yang mampu menduga niat dari perbuatan anak-anak kita atau perilaku yang akan dilakukan mereka. Meskipun anak-anak kita berbuat salah di mata kita, namun dengan mendengar kita akan lebih memahami bahwa kesalahan mereka hanyalah ketidaktahuan mereka dalam memilih sikap yang tepat dalam menghadapi masalah. Disinilah seharusnya peran kita yang utama, mengajarkan mereka bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi suatu masalah. Namun kemarahan kita sering kali menutup kesempatan itu. Kesempatan untuk duduk tenang berbicara dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang seharusnya dianut anak-anak kita.”
Berkaca pada tulisan tadi, mungkin ada kesamaan dengan yang kita alami. Sebagai ibu tentunya kita banyak sekali kekurangan. Kadang kalau sudah capek dengan tugas rumah tangga, cara kita mengasuh anak ikut terpengaruh. Jadi gampang marah, mau anak tidak menangis, tapi ternyata tanpa kita sadari, ada hak anak yang belum kita penuhi, yaitu hak dia bicara dan mengutarakan emosinya lewat tangisan misalnya. Huhuhu.. yuk moms lebih banyak koreksi diri dalam pengasuhan anak lewat membaca, mendengar cerita ibu lain, demi generasi yang lebih baik. Jangan lupa juga untuk penuhi kebutuhan Jamani dan rohani moms dulu sebelum menjalani peran sebagai ibu.
Jadi bagaimana bisa Ibu dengan 5 orang anak, tinggal di Negara orang, mengasuh anak dengan segala tingkah pola nya, tapi tetap bisa mengurus rumah tangga, sambil juga menulis dan menyusun schedule homeschooling sesuai usia dan minat anaknya. Moms mau tahu lebih lanjut? Yuk, cari bukunya di toko buku, atau pinjam teman dan perpustakaan. Kalau nggak salah, saya juga pernah lihat seri wordpressnya. Silakan moms googling ya. Insya Allah moms nggak rugi baca kisah ini. Semoga tulisan saya bermanfaat, ya..
Best Seller! Buku ini sukses menarik hati pembaca khususnya Ibu
source: https://cdn.thesimpledollar.com/wp-content/uploads/2017/01/twenty20_7592f6a3-d67e-49cb-a7e6-a40427152e97-e1484687049515.jpg
Komentar Artikel Ini
{{comment_count||0}}
Sort by{{sorted_by}}
Like!
Newest
Reply
- {{ comment.nam }}{{ comment.commented_at }}EditDelete{{comment.gd}} Likes{{comment.bd}} BadsThis comment was deleted.
more comments
Loading...