Tinggal beberapa jam lagi tanggal 22 Desember akan usai. Di hari yang diperingati sebagai Hari Ibu ini, terus terang saya tidak melakukan perayaan apa-apa. Belum mengunggah apapun di media sosial. Belum membuat “meme” atau “quote” inspiratif. Apalagi menggelar perayaan istimewa, seperti makan bersama keluarga atau jalan-jalan spesial.
 
Hari ini, saya coba menelusuri lagi, perjalanan saya 5 tahun menjadi seorang Ibu. Apa yang saya sadari dan temukan?
 
Saya bisa jadi seseorang yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Beyond my wildest dream and imagination!
 
Buka kartu, jujur-jujuran saja, ya! Sedari kecil, saya yakin benar, area rumah tangga dan segala yang sifatnya “kewanitaan” itu bukan keahlian saya. Mulai dari urusan domestik, perilaku lemah lembut, dandanan feminin, bubar semua praktiknya dalam hidup saya, hahaha!
 
Kalau anak-anak perempuan kebanyakan suka bermain boneka, ingin menjadi seorang putri, atau malah memimpikan bagaimana mereka menikah lalu menjadi seorang ibu, saya adalah anomali. Sampai detik saya dilamar oleh kekasih, yang kini jadi suami, saya tidak pernah membayangkan atau menempatkan pandangan masa depan saya menjadi seorang ibu. Ada masanya pula, berdekatan dengan anak kecil itu jadi hal yang menyebalkan dan menyiksa buat saya.
 
Seekstrem itu? Ya, seekstrem itu!
 
Namun, seiring saya menjalani petualangan ini dan mendapatkan rezeki dua orang anak laki-laki, banyak hal tak terduga dan terbayangkan yang terjadi.


 
Pertama, menjadi ibu membangkitkan kekuatan tak kasat mata. Saya tidak menyangka, bisa melalui kondisi stres luar biasa setelah keguguran dan bangkit kembali dari keterpurukan. Seandainya saya tidak dibekali naluri untuk terus mencoba kesempatan menjadi orang tua, mungkin saya sudah teronggok begitu saja di tempat tidur. Menutup diri, keluar dari pekerjaan, dan menangis sepanjang hari. Untunglah, saya bisa terus maju dan menyongsong hari.
 
Kedua, menjadi ibu membuat saya mau mempelajari hal-hal yang tadinya saya “anti” atau tak percaya diri bisa dikuasai. Contoh soal, menggendong anak dengan kain jarik. Ini butuh keterampilan kelas kakap, ternyata! Bersama dengan menggendong dan memandikan “newborn”, baru bisa saya pede lakukan ketika anak kedua saya, Nara, lahir.

Keajaiban lain, saya mau turun ke dapur dan memasak! Dengan kemampuan pas-pasan soal urusan dapur, syukurlah, saya bisa menyajikan masakan yang disukai oleh anak-anak, sejak masa MPASI mereka. Bukan menu bintang lima yang “Instagrammable”, memang. Setidaknya, anak-anak saya gembira menyantapnya dan berkomentar, “Enak, Mah!”
 
Ketiga, menjadi ibu membakar semangat saya untuk pantang menyerah. Setiap ibu punya cerita perjuangan masing-masing dan ada sebuah titik balik, saat mereka tidak pasrah begitu saja pada keadaan. Perjuangan yang paling saya banggakan adalah berhasil memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada kedua anak saya, hingga usianya 2 tahun. Terlepas dari berbagai tantangan menyusui, termasuk mengalami masa dirawat inap di rumah sakit dan tetap bisa memerah ASI untuk anak yang terpisah dari saya. Kalau ada yang bilang, breastfeeding is a mind game, saya setuju sekali! Hanya “mindset” yang terus dijaga dan kekerasan hati yang membuat petualangan saya sebagai ibu menyusui berakhir manis.


 
Keempat, menjadi ibu melunakkan hati saya untuk mengalah. Ambil contoh termudah, soal makanan. Ada beberapa makanan yang sebelumnya sangat saya hindari, karena memang tidak suka. Sebut saja susu kedelai, hati ayam dan sapi, serta pare. Namun, atas nama kualitas kesehatan ibu hamil dan ibu menyusui, saya merelakan gengsi. Saya beranikan diri mencicipi makanan-minuman tersebut. Syukurlah, saya tidak trauma dan malah sekarang setidaknya tidak memuntahkan atau membuang kalau disuguhi menu tersebut.
 
Kelima, menjadi ibu menyadarkan saya bahwa selalu ada kesempatan untuk belajar dan berubah. Saya harus mulai berdamai dengan “inner child” saya. Yang membuat saya memiliki stigma sebelumnya, tentang “kerepotan” menjadi seorang ibu dan wanita. Saya masih belum bisa membayangkan bagaimana saya di masa tua, kala anak-anak sudah besar. Apakah saya telah berhasil mendidik anak-anak? Apakah saya akan jadi sosok ibu mertua yang menyebalkan, ditakuti, atau malah disayang menantu? Meskipun demikian, saya yakin, perjalanan saya menjadi orang tua akan mendatangkan banyak hikmah. Pelajaran yang saya petik untuk jadi lebih bijaksana.
 
Satu hal pasti, meskipun menjadi seorang ibu dan saya merasakan banyak perubahan perlahan terjadi dalam hidup, saya tidak ingin kehilangan identitas. Saya tetap ingin menjadi seorang Winda, dengan mimpi dan cita-cita. Menjadi Ibu, tidak lantas membuat saya menyerah, apalagi kehilangan jati diri dan motivasi.


 
Menjadi ibu, bukan sebatas menikah, melahirkan, dan membesarkan anak. Semua wanita adalah “ibu” dari cita-cita, harapan, dan doanya. Menjadi ibu, adalah sebuah naluri alami. Seperti pada lagu Kasih Ibu, memberi tanpa mengharap sesuatu kembali.
 
Biarlah, saya kelak dikenang bukan sebagai “Mamahnya Aryo Nara”. Namun, Aryo Nara yang nantinya bisa bangga berkata, kalau mereka bahagia dilahirkan dari rahim seorang Winda.

 
Jadi, di Hari Ibu ini, adakah sebuah hikmah yang ingin kamu bagi?


all photos by Winda Reds (taken from Instagram @iam_mrsred)